Skip to main content

RICO DE CORO Karya Dee (DEKONSTRUKSI ATAS MAKNA CINTA)

Oleh: Yoyo*


Sekilas tentang Makna Cinta
Cinta adalah sebuah keadaan atau fenomena primasi emosional, ataupun nilai yang absolute. Secara umum cinta melibatkan suatu emosi ketertarikan yang intense terhadap orang lain, terhadap tempat, atau sesuatu; dan banyak juga melibatkan aspek pemeliharan yang penuh terhadap objek-objek tersebut, yang melibatkan cinta diri (self love). Cinta dapat menggambarkan perasaan afeksi yang intense, sebuah emosi atau keadaan penuh emosi (perasaan). Dalam penggunaan yang lazim, cinta biasanya menunjukkan pada cinta interpersonal (interpersonal love), sebuah pengalaman yang biasanya dirasakan oleh seseorang terhadap orang lain.[1] Cinta dalam Kamus Bahasa Melayu Nusantara (2003: 495) didefinisikan sebagai 1). Perasaan sangat sayang kepada (Negara, orangtua, kebebasan dll); 2). Suka sekali; sayang bener; 3). Perasaan sangat berahi; 4). Terpikat (antara laki-laki dengan perempuan); kasih sekali; 5). Perasaan rindu; kerinduan; 6). Ingin sekali; berharap sekali; rindu; 7). Perasaan duka cita (risau, bimbang, sedih dll); 8). Susah hati (khuatir) risau.
Cinta adalah sebuah pengalaman hidup yang menarik, menyenangkan, dan berarti secara emosional. Kita tidak tahu bagaimana percikan cinta itu bisa menyala dalam diri kita, karena tidak ada pikiran rasional yang bisa menjawabnya. Oleh karena itu cinta adalah sebuah misteri, banyak orang yang berusaha menguak misteri tersebut dan mencoba untuk memahami cinta dengan berbagai cara bahkan dengan cara-cara klenik. Cinta datang secara tiba-tiba. Dalam mitologi Romawi, Cupid[2] dipercaya sebagai dewi cinta, dan Cupid selalu digambarkan buta saat menembakkan panah cinta kesegala arah sehingga panah cinta tersebut bisa mengenai siapa saja karena itu cinta bisa terjadi pada siapa saja tanpa pandang bulu. Kenapa Cupid digambarkan buta? Karena cinta dipercaya tidak melihat dengan mata tetapi dengan hati. Ketika cinta melihat dengan hati terkadang orang bisa menjadi bodoh karena jatuh cinta pada seseorang yang menurut orang lain tidak pantas buatnya, maka muncullah istilah cinta buta. (Malach Pines, dalam kata pengantar  Falling in Love,p. v)
Dalam buku The Art of Loving[3] karya psikolog bermazhab Frankfrut Erich Fromm, Ia membagi cinta menjadi dua jenis. Cinta pertama yang diperoleh oleh manusia adalah cinta alturistik seorang ibu. Sikap alturistik (memandang orang lain lebih penting dari dirinya sendiri) didapatkan manusia dari ibu dengan sangat mudah bahkan tanpa syarat.
Segera setelah lepas dari masa bayi, manusia akan berkenalan dengan cinta ayah yang tidak lagi bersifat alturistik tapi lebih pada cinta simbiotik. Bila sang anak berhasil memenuhi harapan ayahnya (seperti prestasi,dll) maka sang ayah akan memberikan cintanya. Dengan demikian cinta ayah didapat dengan diperjuangkan dan diusahakan. Hal ini berarti bahwa cinta ayah adalah cinta bersyarat yang harus dipenuhi syarat-syaratnya bila ingin meraihnya. Bertolak dari pengalaman manusia berjuang untuk memperoleh cinta ayah yang bersyarat, maka pada fase selanjutnya manusia harus selalu bersinggungan dengan syarat-syarat untuk mendapatkan cinta dari seseorang atau yang dicintainya. Erich Fromm mendefinisikan cinta sebagai kekuatan aktif yang bersemayam dalam diri manusia; kekuatan yang mampu meluluh lantahkan tembok yang memisahkan sang kekasih dan terkasih. Dikatakan mencintai bila seseorang melakukan elemen-elemen cinta:1) cinta adalah GIVE bukan TAKE 2). Cinta adalah CARE dan tanggung jawab; “semua yang kusukai, setengah kanikmatannya akan hilang apabila engkau tidak di sana untuk menikmatinya bersamaku”(Clara Ortega) 3). Cinta adalah penghargaan 4). Cinta adalah undesrtanding. Cinta, keberadaannya haruslah dipelajari, dimengerti, diusahakan dan diperjungkan. Maka Fromm memandang bahwa sebenarnya mencintai adalah sebuah seni yang tunduk pada kaidah-kaidah seni: 1) disiplin 2) konsentrasi 3) sabar, dan penuh perhatian. 

Sekilas tentang Dekonstruksi
            Dekostruksi secara sederhana adalah suatu cara untuk membaca teks (seperti yang umum didefinisikan); setiap upaya dekonstruksi memiliki sebuah teks sebagai objek dan sekaligus subjeknya. Pengertian ini menganggap dekonstruksi bisa diterapkan bagi lintas displiner. Dekonstruksi bisa diaplikasikan untuk literature, seni, arsitektur, science, matematika, filsafat, dan psikologi dan setiap disiplin lainnya yang bisa dipikirkan dengan melibatkan the act of marking (tindak penandaan)[4]
Pada dasarnya, aliran dekonstruksi dapat disebut sebagai pengembangan dari post-strukturalisme. Hal tersebut seperti yang dikemukakan Yunus (1985: 45  via Fananie : 151  ), bahwa dekonstruksi adalah post-strukturalisme yang sangat ekstrim. Sifat yang ekstrim yang dimaksud adalah pemaknaan karya sastra bisa dimulai dari aspek apa saja bahkan dari persoalan yang paling kecil yang semula tidak diperkirakan banyak orang. Setiap makna tidak lagi diikat oleh unsure struktur. Ia bisa berdiri sendiri dari sebuah jalinan atau unsure-unsur yang ada kehadirannya tidak diikat oleh sebuah poros kombinasi tapi oleh poros pemilihan. Dengan pendekatan ini, maka unsure-unsur yang semula dianggap tidak bermakna, sekarang bisa menjadi bermakna. Peletak dasar dekonstruksi adalah Jacques Derrida, makna bisa digali justru dari unsure yang selama ini tidak dihiraukan. Ia berasal dari unsure dalam teks, tetapi bisa juga dari unsure di luar teks.
Secara filosofis, dekonstruksi Derrida adalah proyek yang mencoba mengekspos paradoks dan hierarki dari nilai-nilai yang ada dalam wacana metafisika Barat (Sumaryono, 1999 : 116)
Teori dekonstruksi menolak gagasan adanya suatu pusat makna. Lebih lanjut dapat ditegaskan, bahwa dekonstruksi menganggap pusat itu relative sekaligus mengingkari makna teks yang bersifat monosemi (Derrida dalam  Selden, 1985: 88). Pada dasarnya ada kelonggaran dalam memberikan makna bila menggunakan teori ini. Di samping itu sangat dimungkinkan adanya tafsir yang bermacam-macam terhadap teks yang dihadapi sebagai objek kajian. Hal ini sejalan dengan pendapat Norris (1982  : 24), bahwa teori ini merupakan suatu strategi untuk membuktikan bahwa bahasa sastra bukan bahasa yang sederhana.
Cara kerja dekonstruksi akan terjadi proses membedakan dan menangguhkan. Proses inilah yang disebut differance. Sebenarnya istilah differance ini diciptakan oleh Derrida untuk menyatakn ciri tanda yang terpecah. Bunyi ‘a’ dalam differance dari bahasa Perancis ternyata disenyapkan, maka yang terdengar hanya difference. Ambiguitasnya hanya dapat dilihat dalam bentuk tulisan. Kata kerja differer bermakna terhadap to differ dan to defer. Differ merupakan konsep ruang, maksudnya tanda muncul dari sistem perbedaan yang mengambil tempat dalam sistem itu. Defer bersifat masa, maksudnya signifier memaksakan suatu penundaan kehadiran tanpa kesudahan (Selden, 1985: 88).          
Melihat model pendekatan ini, maka dapat disebutkan bahwa prinsip dekonstruksi adalah menangkap makna melalui paradoks atau pertentangan dari apa yang secara logika bisa distrukturkan. Hal tersebut bisa diawali dari unsure yang kurang penting atau setitik noktah sampingan. Titik ini justru dipakai sebagai pijakan yang sifatnya barangkali sangat tidak logis. Karena itu kaidah pendekatan ini adalah mengingkari unusr-unsur yang dianggap logis atau mapan tersebut. Menurut Derrida (via Fananie: 152) unsure yang dianggap tidak logis atau mapan dalam konteks struktur secara tidak langsung kadang-kadang justru akan muncul berulang-ulang. Unsure tersebut di satu sisi mungkin mempunyai kekuatan atau bahkan poros makna karya, pada sisi yang lain bisa jadi unsure tersebut justru mengaburkan makna. Unsure-unsur seperti ini pasti terdapat dalam teks satra, baik secara implicit maupun eksplisit. Inilah unsure yang disebut Derrida sebagai dissemination. Unsure tersebut bisa dinyatakan melalui impuls lambang-lambang yang bersifat puitis atau estetis yang semula mapan, padahal sebenarnya merupakan pintu untuk melihat hakikat makna atau realitas di luar teks. Karena itu, unsure tersebut bersifat outoritarian dan ideologis. Konsep tersebut oleh Barthes (via Fananie) disebut sebagai lambang yang merupakan “jendela atau sinar” untuk melihat objek sesungguhnya yang dipikirkan seorang pengarang.       
 
Sebuah Dekonstruksi Atas Makna Cinta
Membaca cerpen Rico de Coro karya Dee (panggilan akrab bagi Dewi Lestari) memang sungguh sangat mengesankan. Ada beberapa hal yang sama sekali baru yang ia tampilkan dalam cerpen tersebut. Hal-hal baru tersebut berupa gambaran kehidupan binatang berupa kecoak yang kemungkinan besar dalam kehidupan kita tidak pernah terbayang untuk memperhatikannya secera mendetail. Apalah artinya kecoak bagi kita, mereka hanyalah binatang[5] menjijikan yang hidup di got-got kotor atau kamar mandi yang tak terawat.
Namun lain halnya bagi Dee, dengan kemahiran memaksimalkan kreativitas logika dan intuisi sastranya, ia mampu mengemas dan menghadirkan “performance” yang sama sekali baru kehidupan binatang berupa kecoak. Dee berupaya menampilkan kecoak sebagai binatang yang “civilized” dan memiliki orientasi dan cita-cita hidup yang jelas. Kecoak yang dalam pandangan kita sebagai makhluk menjijikan telah disulap oleh Dee menjadi binatang yang memiliki ruh dan semangat hidup yang gigih.
Fakta di atas bisa kita lihat dalam ungkapan Rico de Coro ketika memaparkan masa kecil ayahnya:
“Masa kecilnya dihabiskan di lubang dekat televisi, karena itulah dia pintar, berbudaya dan punya wawasan luas. Dia mempelajari semuanya dari kotak listrik warna-warni itu.”  (p. 110).
Lebih jelas lagi, kecoak yang diceritakan di sini tidak mau disamakan dengan kecoak yang hidup di lubang kamar mandi atau WC, mereka merasa lebih berharga dan berpendidikan.
“Kecoak WC itu tidak beradab. Mereka msih hidup di zaman primitive saat kecoak tidak punya identitas. Apalagi bau badan mereka yang…  puah! Mana tahan” (p.151).
Dalam cerpen ini ada dua kelompok kehidupan yang sama sekali berlainan. Pertama, kelompok binatang berupa kecoak yang merasa berbudaya karena tempat tinggal mereka tidak lagi di lubang kamar mandi atau WC. Para pelaku penting kelompok ini antara lain, Rico de Coro selaku putra mahkota kerajaan kecoak ini. Rajanya bernama Hunter dan permaisurinya bernama Vinolia.
Kedua, kelompok keluarga Om Haryanto dan anak-anaknya yaitu Sarah, David dan Natali. Jelas sekali di sini, mereka adalah sebuah keluarga yang hidup seperti lazim adanya, hidup dalam peradaban sekarang ini yang memandang kecoak seperti lazimnya kita melihat kecoak; jijik dan ingin rasanya membunuh makhluk itu.
Di sinilah kisah ini berawal. Rico de Coro selaku hewan berbentuk kecoak jatuh cinta pada Sarah. Dan ini tentunya merupakan masalah besar bagi seekor binatang menjijikan. Hal ini diakui oleh Rico sendiri:
“Aku jatuh cinta. Dan itu merupakan masalah besar bagiku, dan bagi bangsaku. Gadis yang kucintai adalah seorang manusia remaja berparas manis dengan nama yang manis pula: Sarah.” (p. 108)
Sebuah irono ini memang, tapi inilah yang berusaha ditampilkan oleh Dee. Ia berusaha membimbing pembaca untuk tidak memandang remeh makhluk kerdil lainnya. Makhluk di sini tidak hanya sebatas pada binatang tersebut tetapi juga manusia. Jangan menganggap remeh oranglain yang lebih jelek dari kita karena kita tidak tahu bahwa di balik rupa atau penampilan yang jelek tersembunyi di dalam hatinya cinta yang suci dan bening sebening embun di pagi hari. Cinta bak intan permata yang tersimpan dalam jasad yang tak sempurna. Barangkali inilah yang ingin dikemukakan Dee; meski hanya seekor kecoak jelek, hitam dan menjijikan namun cinta yang ia miliki sungguh tulus dan murni.
Ketulusan cinta yang diperlihatkan Rico bisa dilihat dari perilaku kesehariannya yang senantiasa mengawasi dan memperhatikan kekasih pujaan hati belahan jiwa meskipun sikap tersebut banyak mengundang resiko:
“Dari balik tirai, aku asyik mengamati Sarah yang tengah tertidur pulas. Kusembunyikan kedua sungut ini rapi-rapi setiap kali mengunjungi kamarnya, karena perjalanan ini berbahaya sekali.”(p. 120)   
Konflik yang terjadi[6] tidak mematahkan semangat Rico untuk terus mempertahankan cinta yang ia miliki. Ia percaya bahwa meskipun dengan mata kepala sendiri ia melihat pemusnahan atas bangsanya oleh keluarga Om Haryanto utamanya dilakukan oleh David, tapi ia sama sekali tidak melihat niat jahat atau perilaku bengis dari Sarah sang pujaan hati. Sarah hanya takut tatkala melihat seekor kecoak:
“Aku semakin yakin, sebenarnya dia sayang padaku. Setiap kali dilihatnya aku bertengger di lemari piring, Sarah hanya tertegun, kemudian berlari keluar. Dia tidak ingin menyakitiku.” (p.109)
Kesungguhan cinta Rico de Coro ia buktikan sepenuh hati meskipun nyawa harus lepas dari jasadnya:
“Aku merasakan diriku mengawang-awang. Tidak tahu apa bentuknya. Aku tak bisa lagi berbicara, tidak kepada diriku sekalipun. Tinggallah aku sebagai sebentuk kesadaran, sebuah permohonan, yang kini melayang-layang dalam dimensi nonmateri. Tidak ada pangeran serangga hitam, kecil, jelek, dan bau.” (p. 133).
Rico mati karena harus membela sang kekasihnya yang terancam. 
 
Simpulan: Une Nouvelle Orientation De L’amour…
            Sekarang masih tersisa pertanyaan, di manakah letak dekonstruksi dalam cerpen Rico de Coro yang dilakukan Dee? Urain di atas telah memberikan brief explanation pada kita. Dee sebagai pengarang kreatif mampu menampilkan hal-hal sepele dan remeh namun ternyata menjadi bernilai dan sangat mengesankan. Dalam kehidupan sehari-hari, seringkali dengan picik kita menyepelekan hal-hal yang tak diaanggap penting, pinggiran dan marjinal. Kita lebih suka menyoroti fenomena yang serba wah!…dan menarik. Padahal seringkali dalam hal-hal yang dianggap sepele tersimpan keagungan dan kearifan.
 Kecoak sebagi sample dalam cerpen ini yang terkadang luput dari pengamatan kita telah bangkit dan terangkat statusnya menjadi tidak lagi hanya sekedar serangga kecil dan menjijikan. Ternyata, di balik kesederhana fisik mereka, mereka pun memiliki identitas dan mampu membuktikan ketulusan cinta yang dimiliki, dalam hal ini diwakili oleh Rico de Coro selaku tokoh utama.  Tentunya hal ini hanyalah metaphor yang perlu ditafsir. Hidup kita memang selalu membutuhkan tafsiran-tafsiran baru.
Tafsiran baru di sini termasuk tafsiran dan pemaknaan ulang atas cinta. Di era yang serba materialistic ini, cinta sudah ditafsirkan orang-orang dengan semu. Cinta bagi kebanyakan orang di zaman ini tak lagi dianggap sacral. Mereka menjadikan cinta hanya sebagi komoditas semata, yang penting kemewahan duniawi tercapai. Cinta bisa dimanipulasi!
Dee dengan kesungguhannya menampilkan pada kita semua bahwa masih ada cinta yang tulus meski hanya tersimpan dalam jasad yang hina. Namun keterbatasan fisik tidak menjadi halangan untuk membuktikan ketulusan cinta meskipun orang yang dicintai tak menyadari apalagi kenal akan orang yang mencintainya. Inilah Une Nouvelle Orientation De L’amour (orientasi baru cinta). Janganlah keterbatasan fisik dan keadaan kita menjadikan minder dan segan untuk mencintai mereka yang lebih, baik dari segi fisik maupun materi ataupun status. Modal utama yang harus dimiliki adalah cinta suci dan murni.
Daftar Bacaan:
Dewi Lestari, Rico de Coro dalam Filosofi Kopi: Kumpulan Cerita dan Prosa       Satu Dekade, (Yogyakarta: GagasMedia, 2006).
Erich Fromm, The Art of Loving,terj. Syafi’ Alaelha , (Jakarta: Fresh Book,        2002)
http://en. Wikipedia. Org/wiki/deconstruction
http://en. Wikipedia. Org/wiki/love
Pines, Malach Ayala, Falling in Love, terj. Sophia Febriyanti, (Yogyakarta:         Pustaka Pelajar, 2005)
Raman Selden, A Reader’s guide To Contemporary Literary Theory (New York:             Harvester Wheatsheaf, 1985)
Sumaryono, Hermeneutika Sebuah Metode Filasafat, (Yogyakarta: Kanisius, 1999)



[1] Love is a condition or phenomenon of emotional primacy, or absolute value. Love generally includes an emotion of intense attraction to either another person, a place, or thing; and may also include the aspect of caring for or finding identification with those objects, including self love. Love can describe an intense feeling of affection, an emotion or an emotional state. In ordinary use, it usually refers to interpersonal love, an experience usually felt by a person for another person. Love is commonly considered impossible to define. http://en. Wikipedia. Org/wiki/love.
[2] Dalam mitologi Romawi, Cupid adalah dewa cinta dan hasrat, dalam bahasa Latin, Cupido berarti hasrat. Ia adalah putra dari Venus, dewi cinta dan kecantikan. Cupid yang nakal tidak peduli pada usia atau strata social. Ia terbang ke sana dan ke mari melepaskan anak panah pada korbannya—dewa dan manusia. Dengan segera mereka jatuh cinta dan terbakar oleh hasrat yang tiada terbatas. (Cupid dikenal oleh bangsa Yunani sebagai dewa Eros), Malach Pines, p. 4  
[3] Erich Fromm, The Art of Loving,terj. Syafi’ Alaelha , (Jakarta: Fresh Book, 2002)
[4]  In a sense, deconstruction is simply a way to read text (as broadly defined); any deconstruction has a text as its object and subject. This accounts for deconstruction's broad cross-disciplinary scope. Deconstruction has been applied to literature, art, architecture, science, mathematics, philosophy, and psychology, and any other disciplines that can be thought of as involving the act of marking. http://en. Wikipedia. Org/wiki/deconstruction.
[5] Biantang atau hewan adalah makhluk hidup yang dapat merasa dan bergerak, tetapi tidak dapat berfikir. Untuk lebih jelasnya lihat Kamus Bahasa Melayu, entry hewan atau binatang.
[6] Terjadi kekacaun yang luar biasa di dalam kerajaan kecoak. Mereka dihadapkan pada masalah pembantaian yang dilakukan keluarga Om Haryanto. Kecoak-kecoak yang terlihat akan dibunuh dan ditangkap untuk selanjutnya dijadikan makanan ikan arowana.  


*Tulisan ini merupakan paper yang saya presentasikan ketika saya masih di Program Magister (2005-2008) dan mengikuti Mata Kuliah Postmodernisme di dalam karya sastra. Mata kuliah ini diampu oleh dosen sastra Indonesia senior di FIB, UGM, Dr. Teuku Ibrahim Alfian, M.A almarhum (Allaahummaghfir lahu--).


Comments

Popular posts from this blog

Bahasa adalah Kunci Dunia

  Bagiku, menginjakkan kaki di tanah para Nabi, Mesir, bukanlah ekspektasi atau pun mimpi-mimpi yang aku bangun. Terus terang saja, sebagai anak dusun yang hidup di pelosok, wawasan tentang dunia luar baru mulai terbuka saat aku duduk di Sekolah Menengah Atas Islam, yaitu SMA Muhammadiyah Banjarsari, Ciamis. Saat itu, aku sudah mulai tertarik dengan bahasa Inggris dan paling tidak sebulan sekali sering pergi ke Pantai Pangandaran , salah satu objek wisata andalan Jawa Barat dengan keindahan pasir putih dan Grand Canon nya. Aku pergi ke pant a i tersebut dengan menaiki mobil bak terbuka dan cukup membayar 500 perak saja. Biasanya aku pergi ke pantai tersebut di hari Sabtu dengan masih menggunakan seragam sekolah. Ini artinya aku membolos dari sekolah tersebut hehehe (j angan ditiru yaa) … Sesampainya di Pantai, yang aku lakukan adalah mencari-cari bule yang sedang bersantai di pinggir an pantai. Dengan modal buku saku English Practice yang tipis dan kumal, biasanya aku mulai mempe...

Curhatan Dosen BSA

  Sudah lama ingin kutuliskan surat ini, namun karena berbagai hal, ide surat ini hanya terukir di hati dan kepala. Untaian kalimat ingin rasanya ditumpahkan ke secarik kertas karena hati dan kepala ini rasanya sudah tidak tahan lagi menahannya dan ingin segera terbebas dari segala belenggu rasa dan keluh kesah. Surat ini bukanlah surat cinta tentunya. Surat ini adalah curahan hati dari seorang dosen yang terpisah dari sebagian mahasiswanya. Mengapa melalui surat terbuka seperti ini, karena tentunya malu dan rasanya kurang pas jika dosen berkirim WA ke mahasiswanya yang di dalamnya ditumpahkan berbagai perasaan. Rasanya malu. Takut jika dibilang dosen kok cengeng ya! Tetapi saya pun yakin jika surat ini akan masih dimaknai sebagian orang sebagai surat yang berlebih-lebihan. Tapi biarlah…kita kan orang BSA di mana ketika kekuatan lisan tidak mampu terucap maka hanya untaian tulisanlah yang akan menjadi penyembuh gelisah dan gundah gulana. Sejatinya, curhatan guru dan murid sudah...